Minggu, November 25, 2012

Tugas Guru adalah Mendidik dan Mengajar

Salah-satu hal yang paling saya tidak minati sebagai guru adalah harus membuat perangkat administrasi mengajar. Mulai dari Silabus, Program Tahunan, Program Semester, RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), Pemetaan, Analisa KKM, dan sebagainya. Sebenarnya tujuan membuat perangkat itu baik. Yaitu supaya para guru bisa mengukur kemampuan para siswa, menambah atau mengurangi sub bahasan dari suatu pelajaran, dan juga sebagai alat evaluasi bagi Kepala Sekolah ketika melakukan supervisi kepada para guru.
Masalahnya, untuk membuat suatu perangkat yang lengkap dan benar-benar hasil kerja sendiri, memerlukan komitmen yang luar biasa. Pertama, mampu meluangkan waktu setiap usai mengajar untuk memperbaiki RPP yang telah disusun, agar sesuai dengan materi yang baru saja diajarkan. Kedua, mampu meneliti satu demi satu butir soal, baik dalam hal tingkat kesulitan maupun bobot nilai yang layak diberikan per soal. Ketiga, mampu menyusun semua yang telah dikerjakan ke dalam suatu laporan lengkap (beserta soal dan nilai, remedial yang dilakukan, dll) sesuai petunjuk teknisnya. Keempat, mampu menyisihkan anggaran khusus untuk mengetik, mencetak, menggandakan, dan menjilid rapih. Paling tidak ada arsip untuk disimpan sendiri. Dan kelima, yang paling penting, mampu bersabar bila semua fasilitas untuk mengetik dan mencetak tidak tersedia, baik di sekolah maupun di rumah masing-masing).
Namun, jangan kuatir, masih ada peluang membuat perangkat secara mudah dan praktis. Mulai dari mengunduh dari internet ataupun menggandakan dari perangkat milik teman. Sebagai catatan pastikan copy paste yang dilakukan rapih. Jangan sampai  yang tercantum adalah nama sekolah, nama guru, dan nama kepala sekolah orang lain. Beres kan ?
Menurut teori, kurikulum memberikan ruang untuk para guru bisa menyusun silabus dan “para prajuritnya” itu sesuai dengan kompetensi yang ada di sekolah masing-masing. Tapi itu nyaris tidak mungkin. Karena berkaitan dengan banyak hal. Paling utama sih dengan soal UN (untuk SMP/Mts dan SMA/SMK/MA) ataupun UASBN (untuk SD/MI). Bagaimana mungkin seorang guru membuat silabus sendiri dan sebagainya itu bila ternyata materi yang diajarkan tidak ada dalam soal UN ? Itu namanya buat masalah sendiri.
Oleh karena itu, mau tidak mau, akhirnya silabus nasional lah yang dipakai. Soal bagaimana kendalanya di lapangan, tanggungjawab sekolah masing-masing. Saya sering mengamati konsentrasi para siswa ketika belajar di kelas. Begini, satu jam pelajaran lamanya 40 menit. Rata-rata setiap mata pelajaran satu harinya adalah dua jam pelajaran, jadi 2 x 40 = 80 menit.
Biasanya 10 menit pertama adalah tahap peralihan dari satu mata pelajaran ke mata pelajaran lain. Kemudian 10 menit kedua dilakukan semacam prolog, ataupun pre-test. Setelah itu, bila metode ceramah yang digunakan, maka siswa paling lama bertahan  20 menit untuk konsentrasi penuh ke depan. Bila disertai guyonan, maka mampu bertahan 30 menit. Selebihnya, bila diberikan tugas, maka ada jeda untuk buka buku, pinjam pulpen, pinjam penghapus/tip ex, ataupun pinjam buku ke kelas lain. Berikutnya, menunggu bel selesai pelajaran adalah hal yang paling ditunggu. Sering beberapa anak mencuri-curi kesempatan melihat jam, entah jam dinding ataupun di tangan sendiri.
Kalau para siswa setiap kelas hanya berjumlah 30 orang dan semuanya cerdas serta dari keluarga mampu, tentu tidak masalah. Mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas. Bahkan akan ada perdebatan di kelas bila ceramah ataupun jawaban guru tidak memuaskan. Tapi, bila satu kelas terdiri dari 48 siswa, dan hanya 10 yang tanggap, masih ditambah suara berisik dari kelas lain, kepanasan, sempit, juga bila letak sekolah di pinggir jalan besar, maka daya tahan siswa untuk konsentrasi penuh hanya 10 menit.
Bagi guru, masalahnya belum selesai. Bila setiap guru mendapat jatah mengajar 5 kelas, maka yang harus diperhatikan adalah 5 x 48 siswa =   240 siswa. Satu hari mengajar bisa 3 kelas. Selesai mengajar dari satu kelas ke kelas lain, ada tenggang waktu. Tenggang waktu inilah yang idealnya dipakai untuk merevisi RPP. Namun, kenyataannya, tenggang waktu lebih sering dipakai untuk sarapan, mengoreksi hasil pekerjaan siswa, memanggil siswa yang bermasalah, ataupun mengerjakan tugas-tugas struktural lain. Ada juga sih yang dipakai untuk ngobrol, sekedar sebagai merenggangkan otot otak yang kaku. Kan guru juga manusia ?
Kendala yang lain, bila guru mengajar monoton, sering meninggalkan kelas, ataupun tidak masuk padahal ada di sekolah, suasana sekolah bisa hiruk pikuk. Para siswa keluar dan mengganggu kelas lain. Latar para siswa juga berpengaruh. Ada yang dari keluarga bahagia, ada yang dari keluarga KDRT, ada yang keluarga berantakan, ada yang orang tuanya di PHK, ada juga yang mapan, dan macam-macam lagi.
Bila sudah begitu, saya akan menyerah bila disuruh membuat silabus dan sebagainya. Sebab silabus dan teman-temannya itu hanya berupa perangkat teknis. Sementara, bagi para siswa yang dibutuhkan adalah perhatian dan kesabaran dari gurunya. Para siswa ingin belajar tanpa takut akan di cela sebagai “anak bodoh”. Para siswa juga tidak bisa dipaksa harus pintar Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan sebagainya. Para siswa ingin juga dibanggakan jika mereka terampil dalam seni maupun olah raga.
Lebih dari itu, setiap perkembangan seorang siswa dari satu tahap naik ke tahap berikutnya meski hanya 1 angka, tetaplah harus diapresiasi. Begitupun dari siswa yang pemalu dan pendiam menjadi aktif dan berani bertanya, patut dipuji diberi tepuk tangan oleh teman-temannya. Siswa yang nakal atau sering bolos, perlu ditelusuri latar belakangnya. Dan apapun kisah yang menjadi latar belakangnya tidak harus menjadi “label negatif” yang disikapi dengan sinis.
Sekarang ini guru seakan-akan dilimpahi banyak rezeki dari pemerintah. Sehingga guru pun dimintakan kewajiban untuk bekerja sebagaimana pegawai di bidang lain. Maka perangkat administrasi itulah yang dijadikan ukuran kinerja seorang guru, khususnya PNS. Seringkali karena harus mengerjakan perangkat dan berbagai tugas struktural, perhatian kepada para siswa jadi kurang. Kalaupun ada, lebih pada pemberian tugas, panggilan orang tua, dan sebagainya yang bersifat satu arah.Tidak heran tawuran terjadi dimana-mana.
Menurut saya kesemuanya itu sebenarnya hanya bisa diselesaikan dengan mengembalikan guru kepada tugasnya yang mulia, yaitu mendidik dan mengajar. Perangkat mengajar harusnya dalam bentuk yang lebih fleksibel agar tidak menjadi beban ataupun bahan bajakan.
Ditulis oleh : Rofatul Aftah (Guru Honorer di sebuah SMP Negeri dan ibu dari dua orang anak.)
Sumber asli : http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/17/tugas-guru-adalah-mendidik-dan-mengajar-508873.html

0 comments:

Posting Komentar