Salah-satu hal yang paling saya tidak minati sebagai
guru adalah harus membuat perangkat administrasi mengajar. Mulai dari
Silabus, Program Tahunan, Program Semester, RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran), Pemetaan, Analisa KKM, dan sebagainya. Sebenarnya tujuan
membuat perangkat itu baik. Yaitu supaya para guru bisa mengukur
kemampuan para siswa, menambah atau mengurangi sub bahasan dari suatu
pelajaran, dan juga sebagai alat evaluasi bagi Kepala Sekolah ketika
melakukan supervisi kepada para guru.
Masalahnya, untuk membuat suatu perangkat yang lengkap dan benar-benar
hasil kerja sendiri, memerlukan komitmen yang luar biasa. Pertama, mampu
meluangkan waktu setiap usai mengajar untuk memperbaiki RPP yang telah
disusun, agar sesuai dengan materi yang baru saja diajarkan. Kedua,
mampu meneliti satu demi satu butir soal, baik dalam hal tingkat
kesulitan maupun bobot nilai yang layak diberikan per soal. Ketiga,
mampu menyusun semua yang telah dikerjakan ke dalam suatu laporan
lengkap (beserta soal dan nilai, remedial yang dilakukan, dll) sesuai
petunjuk teknisnya. Keempat, mampu menyisihkan anggaran khusus untuk
mengetik, mencetak, menggandakan, dan menjilid rapih. Paling tidak ada
arsip untuk disimpan sendiri. Dan kelima, yang paling penting, mampu
bersabar bila semua fasilitas untuk mengetik dan mencetak tidak
tersedia, baik di sekolah maupun di rumah masing-masing).
Namun, jangan kuatir, masih ada peluang membuat perangkat secara mudah
dan praktis. Mulai dari mengunduh dari internet ataupun menggandakan
dari perangkat milik teman. Sebagai catatan pastikan copy paste yang
dilakukan rapih. Jangan sampai yang tercantum adalah nama sekolah, nama
guru, dan nama kepala sekolah orang lain. Beres kan ?
Menurut teori, kurikulum memberikan ruang untuk para guru bisa menyusun
silabus dan “para prajuritnya” itu sesuai dengan kompetensi yang ada di
sekolah masing-masing. Tapi itu nyaris tidak mungkin. Karena berkaitan
dengan banyak hal. Paling utama sih dengan soal UN (untuk SMP/Mts dan
SMA/SMK/MA) ataupun UASBN (untuk SD/MI). Bagaimana mungkin seorang guru
membuat silabus sendiri dan sebagainya itu bila ternyata materi yang
diajarkan tidak ada dalam soal UN ? Itu namanya buat masalah sendiri.
Oleh karena itu, mau tidak mau, akhirnya silabus nasional lah yang
dipakai. Soal bagaimana kendalanya di lapangan, tanggungjawab sekolah
masing-masing. Saya sering mengamati konsentrasi para siswa ketika
belajar di kelas. Begini, satu jam pelajaran lamanya 40 menit. Rata-rata
setiap mata pelajaran satu harinya adalah dua jam pelajaran, jadi 2 x
40 = 80 menit.
Biasanya 10 menit pertama adalah tahap peralihan dari satu mata
pelajaran ke mata pelajaran lain. Kemudian 10 menit kedua dilakukan
semacam prolog, ataupun pre-test. Setelah itu, bila metode ceramah yang
digunakan, maka siswa paling lama bertahan 20 menit untuk konsentrasi
penuh ke depan. Bila disertai guyonan, maka mampu bertahan 30 menit.
Selebihnya, bila diberikan tugas, maka ada jeda untuk buka buku, pinjam
pulpen, pinjam penghapus/tip ex, ataupun pinjam buku ke kelas lain.
Berikutnya, menunggu bel selesai pelajaran adalah hal yang paling
ditunggu. Sering beberapa anak mencuri-curi kesempatan melihat jam,
entah jam dinding ataupun di tangan sendiri.
Kalau para siswa setiap kelas hanya berjumlah 30 orang dan semuanya
cerdas serta dari keluarga mampu, tentu tidak masalah. Mereka akan
dengan cepat menyelesaikan tugas. Bahkan akan ada perdebatan di kelas
bila ceramah ataupun jawaban guru tidak memuaskan. Tapi, bila satu kelas
terdiri dari 48 siswa, dan hanya 10 yang tanggap, masih ditambah suara
berisik dari kelas lain, kepanasan, sempit, juga bila letak sekolah di
pinggir jalan besar, maka daya tahan siswa untuk konsentrasi penuh hanya
10 menit.
Bagi guru, masalahnya belum selesai. Bila setiap guru mendapat jatah
mengajar 5 kelas, maka yang harus diperhatikan adalah 5 x 48 siswa =
240 siswa. Satu hari mengajar bisa 3 kelas. Selesai mengajar dari satu
kelas ke kelas lain, ada tenggang waktu. Tenggang waktu inilah yang
idealnya dipakai untuk merevisi RPP. Namun, kenyataannya, tenggang waktu
lebih sering dipakai untuk sarapan, mengoreksi hasil pekerjaan siswa,
memanggil siswa yang bermasalah, ataupun mengerjakan tugas-tugas
struktural lain. Ada juga sih yang dipakai untuk ngobrol, sekedar
sebagai merenggangkan otot otak yang kaku. Kan guru juga manusia ?
Kendala yang lain, bila guru mengajar monoton, sering meninggalkan
kelas, ataupun tidak masuk padahal ada di sekolah, suasana sekolah bisa
hiruk pikuk. Para siswa keluar dan mengganggu kelas lain. Latar para
siswa juga berpengaruh. Ada yang dari keluarga bahagia, ada yang dari
keluarga KDRT, ada yang keluarga berantakan, ada yang orang tuanya di
PHK, ada juga yang mapan, dan macam-macam lagi.
Bila sudah begitu, saya akan menyerah bila disuruh membuat silabus dan
sebagainya. Sebab silabus dan teman-temannya itu hanya berupa perangkat
teknis. Sementara, bagi para siswa yang dibutuhkan adalah perhatian dan
kesabaran dari gurunya. Para siswa ingin belajar tanpa takut akan di
cela sebagai “anak bodoh”. Para siswa juga tidak bisa dipaksa harus
pintar Matematika, Bahasa Inggris, IPA, dan sebagainya. Para siswa ingin
juga dibanggakan jika mereka terampil dalam seni maupun olah raga.
Lebih dari itu, setiap perkembangan seorang siswa dari satu tahap naik
ke tahap berikutnya meski hanya 1 angka, tetaplah harus diapresiasi.
Begitupun dari siswa yang pemalu dan pendiam menjadi aktif dan berani
bertanya, patut dipuji diberi tepuk tangan oleh teman-temannya. Siswa
yang nakal atau sering bolos, perlu ditelusuri latar belakangnya. Dan
apapun kisah yang menjadi latar belakangnya tidak harus menjadi “label
negatif” yang disikapi dengan sinis.
Sekarang ini guru seakan-akan dilimpahi banyak rezeki dari pemerintah.
Sehingga guru pun dimintakan kewajiban untuk bekerja sebagaimana pegawai
di bidang lain. Maka perangkat administrasi itulah yang dijadikan
ukuran kinerja seorang guru, khususnya PNS. Seringkali karena harus
mengerjakan perangkat dan berbagai tugas struktural, perhatian kepada
para siswa jadi kurang. Kalaupun ada, lebih pada pemberian tugas,
panggilan orang tua, dan sebagainya yang bersifat satu arah.Tidak heran
tawuran terjadi dimana-mana.
Menurut saya kesemuanya itu sebenarnya hanya bisa diselesaikan dengan
mengembalikan guru kepada tugasnya yang mulia, yaitu mendidik dan
mengajar. Perangkat mengajar harusnya dalam bentuk yang lebih fleksibel
agar tidak menjadi beban ataupun bahan bajakan.
Ditulis oleh : Rofatul Aftah (Guru Honorer di sebuah SMP Negeri dan ibu dari dua orang anak.)
Sumber asli : http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/17/tugas-guru-adalah-mendidik-dan-mengajar-508873.html